
JAKARTA – Meskipun Jaya128 TikTok sejauh ini berhasil menghadapi badai terkait masa depannya di AS, aplikasi ini menghadapi tantangan yang lebih berat di Uni Eropa.
Komisi Perlindungan Data Irlandia, regulator utama TikTok di Eropa, pada hari Jumat mendenda pembuat aplikasi ini sebesar €530 juta ($600 juta) atau setara Rp9,8 triliun (€1=Rp18.600).
Denda tersebut diberikan karena melanggar Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) Uni Eropa dengan mentransfer data pribadi pengguna ke Tiongkok secara tidak semestinya.
Kantor pusat TikTok di Eropa berada di Irlandia, tetapi perusahaan induknya, ByteDance, berbasis di Tiongkok.
Menurut Komisi, TikTok gagal menunjukkan bahwa data pribadi dari 175 juta pengguna Eropa di aplikasi ini akan cukup terlindungi dari akses pemerintah berdasarkan undang-undang Tiongkok tentang spionase dan keamanan siber, menurut laporan Wall Street Journal.
Denda ini merupakan salah satu yang terbesar yang pernah diberikan berdasarkan GDPR, dan Komisi menyatakan bahwa TikTok dapat diperintahkan untuk menghentikan semua transfer data ke Tiongkok jika tidak mengambil langkah untuk memperbaiki masalah ini dalam waktu enam bulan.
Seperti diwartakan Pymnts, Minggu (4/5/2025), Pengawas Irlandia menambahkan bahwa pihaknya sedang berdiskusi dengan rekan-rekan di Uni Eropa untuk mempertimbangkan apakah tindakan lebih lanjut diperlukan.
Uni Eropa sebelumnya mendenda Meta Platforms sebesar $1,3 miliar berdasarkan undang-undang yang sama karena mentransfer data ke AS yang dapat tunduk pada pengawasan AS, catat Journal.
Dalam pernyataannya, TikTok mengatakan bahwa mereka “tidak pernah menerima permintaan data pengguna Eropa dari otoritas Tiongkok, dan tidak pernah memberikan data pengguna Eropa kepada mereka,” dan berjanji akan mengajukan banding atas putusan tersebut.
“Putusan ini berisiko menciptakan preseden dengan konsekuensi luas bagi perusahaan dan seluruh industri di Eropa yang beroperasi secara global,” tambah pernyataan tersebut.
Namun, menurut Komisi, TikTok bulan lalu mengakui menyimpan beberapa data Eropa di Tiongkok setelah sebelumnya membantah melakukannya.
TikTok secara resmi telah dilarang di AS karena hubungannya dengan Tiongkok setelah gagal menemukan pembeli AS sebelum batas waktu 19 Januari yang ditetapkan oleh Kongres dalam undang-undang yang disahkan tahun lalu.
Namun, Presiden Trump telah dua kali memperpanjang batas waktu tersebut, terakhir pada 4 April, meskipun tanpa otorisasi eksplisit dari Kongres atau pengadilan.
Mahkamah Agung menegakkan undang-undang yang melarang aplikasi tersebut tahun lalu.
Menurut laporan bulan lalu, pemerintahan Trump hampir mencapai kesepakatan yang memungkinkan TikTok terus beroperasi di AS, tetapi kesepakatan itu gagal setelah presiden memberlakukan tarif tinggi pada ekspor Tiongkok ke AS.
Tidak jelas apakah kesepakatan baru akan tercapai sebelum akhir perpanjangan 75 hari saat ini atau apakah pemerintahan akan mencoba memperpanjang batas waktu lagi.
TikTok memiliki sekitar 136 juta pengguna di AS dan merupakan aplikasi media sosial keempat yang paling banyak digunakan.***